adsense

Senin, 12 Maret 2012

YOGYAKARTA YANG ISTIMEWA

Untuk memahami status "ISTIMEWA" yang melekat pada wilayah propinsi Yogyakarta, kita memang perlu melongok ke belakang, asal mula berdirinya Kesultanan ini.

Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bertahta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I pada tanggal 1755. Sultan Hamengku Buwono I ternyata mewarisi semangat anti penjajahan dari eyangnya, Sultan Agung. Yaitu Raja besar Mataram yang dengan gagah berani menggempur sarang Belanda di Batavia pada paruh abad 17. Sultan Hamengku Buwono I sendiri juga merupakan seorang pemimpin gerilyawan sekaligus diplomat ulung yang pantang mundur menghadapi Belanda. Jejaknya diikuti oleh Sultan Hamengku Buwono II serta Pangeran Diponegoro, yang terkenal sebagai pemimpin Perang Jawa.

Jiwa kejuangan "Orang-Orang Mataram" terus membara hingga abad ke-20. DR Wahidin Sudirohusada, salah seorang Pergerakan Nasional dari Yogyakarta, serta mencetuskan gagasan pendirian Budi Utomo. Suatu organisasi modern, pembangkit Nasionalisme Indonesia pada masa pra kemerdekaan.
Semangat anti penjajahan juga jelas terlihat pada pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Hanya beberapa hari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamsikan, Beliau dengan tegas langsung memberikan dukungannya kepada Negara Republik Indonesia, dan menyatakan bahwa wilayah Kesultanan Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia. Langkah ini banyak di nilai sebagai keputusan yang berani, sekaligus menunjukan konsistensi sikap dan prinsip pimpinan beserta rakyat Yogyakarta, yang diipegang teguh sejak Sultan Hamengku Buwono I, sang pendiri.

Keteguhan prinsip "menjunjung tinggi kedaulatan dan martabat bangsa" ini diikuti oleh tindak perjuangan nyata untuk mewujudkannya. Dengan demikian, pengorbanan yang menjadi resiko perjuangan telah dianggap wajar bagi warga Yogyakarta. Pikiran, tenaga,harta, tahta, bahkan jiwa sekalipun, direlakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX beserta rakyat, untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia terhadap ancaman penjajah. Terlebih lagi pada saat Yogyakarta menyediakan diri menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia pada masa agresi Belanda, kegigihan "Orang-Orang Mataram" semakin nyata.

Siapa tak ingat Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil membuka mata dunia terhadap eksistensi Negara Republik Indonesia. Letkol Soeharto dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX beserta rakyat Indonesia, khususnya yang saat itu berada di Yogyakarta telah membuktikan semangat juang pantang menyerah.

Tindakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang tidak setengah-setengah dalam membela kedaulatan Negara Republik Indonesia, baik pada masa perjuangan kemerdekaan, pada awal tegaknya Negara Republik Indonesia, hingga masa Orde Baru. Apa motivasinya?Jawaban ini secara eksplisit telah diberikan pada saat beliau memberikan ceramah di hadapan generasi muda dan rakyat Yogyakarta pada tanggal 18 Agustus 1986 yang berintikan :

1. Beliau merasa terpanggil oleh teladan yang diberikan nenek moyangnya, terutama Sultan Agung, Sultan Hamengku Buwono I, Sultan Hamengku Buwono II dan Pangeran Diponegoro.

2. Beliau merasa solider terhadap pembantu Jawa yang di maki-maki oleh keluarga Belanda.

3. Beliau ingin kembali ke tengah-tengah rakyat, untuk berjuang bersamanya. Karena nenek moyangnya, Eyang Panembahan Senopati juga berasal dari rakyat. Ayah Panembahan Senopati adalah Ki Gede Pemanahan, berasl dari rakyat.Beliau bukan wali dan bukan raja.

Maka dapat disimpulkan, bahwa pendorong perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah tekad untuk menempatkan Keraton Mataram di tengah-tengah rakyat, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Wajarlah, bila Beliau menyaerahkan Kesultanan Yogyakarta yang meliputi Keraton dan wilayah pemerintah daerah kepada rakyat dan pemerintah Republik Indonesia, seperti tercantum dalam AMANAT 5 September 1949. AMANAT  tersebut berintikan, Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat adalah DAERAH ISTIMEWA dari Republik Indonesia dan Sultan Hamengku Buwono IX beserta Sri Paku Alam VIII selaku pemimpin yang memegang kekuasan pemerintahan daerah, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

AMANAT tersebut merupakan sambutan PIAGAM KEDUDUKAN bertanggal 19 Agustus 1945 yang ditandatangani oleh presiden Republik Indonesia yaitu Soekarno dan di serahkan pada tanggal 6 September 1945. PIAGAM KEDUDUKAN  ini mengukuhkan kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai pemimpin Yogyakarta.

Memang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta harus dilihat secara utuh. Keraton sebagai segi Batiniah- yang menjadi pusat pengembangan nilai-nlai budaya luhur; Pemerintah Daerah, sebagai pengejawantahan lahiriyah- yang siap melayani dan membimbing rakyat menuju kehidupan sejahtera lahir dan batin; dan Rakyat yang dijunjung tinggi kedaulatannya. Ketiga-tiganya merupakan Kesatuan, yang menjadi ciri khas dan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Akhirnya, sesungguhnya keiistimewaan Yogyakarta juga merupakan salah satu keistimewaan yang di miliki Indonesia. Suatu nilai tambah dan kekayaan tersendiri bagi bangsa kita dan tidak semestinya pemerintah sekarang mempersoalkannya. Hargailah jasa-jasa para Pahlawan....!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar